“Besok pagi, tidak ada misa di Kapel Santo Mikael, kita semua misa pertama di Gereja Santo Yoseph, Onekore,” kata Pater Kalixtus Lega, SVD, sang bapak asrama di hadapan ratusan siswa penghuni asrama Putera Syuradikara, jam makan siang, Sabtu 12 Desember 1992, kenang Ferdinand Lamak, seorang siswa kelas 3 di SMAK Syuradikara Ende di satulamaholot.com.
Suara para siswa pun berisik, seperti hendak protes. Mungkin karena setiap anak sudah punya rencana masing-masing untuk mengisi hari Minggu mereka, pasalnya hari itu adalah hari terakhir ujian semester. “Coba ya…tenang dulu,” kata Pater Kalix sambil memukul piring dengan sendok untuk mendiamkan seisi ruangan itu.
Sekali pukul, suasana belum juga tenang. Dua kali pukul, masih berisik juga. Semakin kencang, pastor senior untuk urusan pembinaan remaja di asrama itu pun kembali memukul piring dari meja nomor satu, tempat ketua asrama duduk. “Prang…prang…prang…” kira-kira begitu bunyi pukulan piring itu.
Semua terdiam dan dalam hitungan detik, semua wajah panik dan berpegangan dimeja dan kursi masing-masing. Ada suara gemuruh dan lantai, plafon, bangunan berguncang keras sekali. Gempa bumi!
Ratusan siswa ini berlompatan keluar ruangan, ada yang lewat pintu depan ke halaman taman kamar makan, ada juga yang berlarian menuruni tangga di halaman belakang menuju dapur.
“Bruder cepat lari, plafonnya mau runtuh,” teriak kami dari seberang menyaksikan bruder kepala asrama karyawan yang kebingungan hendak berlari kemana. Melompat, tidak mungkin karena fondasi bangunan yang tinggi mencapai 2 meter, ditambah sang bruder dengan mata yang kurang normal dan berjalan pun kurang lancar.
Kisah selengkapnya bisa dibaca di Gempa 12 Desember 1992. Kali ini kita coba intip foto-foto di Syuradikara pasca gempa bumi.
Catatan: Semua foto di atas diperoleh dari dokumentasi (alm) P. Yohanes Bele, SVD.